Tuesday, July 31, 2018

An Open Letter: Ini Bukan "Selamat Tinggal"

Setelah berdebat dengan diri sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk menulis ini. Itu hak mu untuk baca atau tidak. Aku hanya tidak sanggup menahannya lebih lama lagi.

Sebelumnya terimakasih sudah masuk ke dalam hidupku yang sepi, gelap, abu-abu dan berliku ini. Kamu sudah membuat hidupku lebih berwarna, dan sejak ada dirimu, aku tidak takut lagi berada di dalamnya.

Terimakasih sudah menerima diriku apa adanya, dan tetap di sampingku walau kamu tahu bagian paling buruk dalam diriku. Kamu tetap menggenggam tanganku dan mengatakan bahwa itu bukan hal yang besar dan kamu tidak pergi saat mengetahuinya.

Kamu pasti tahu, karena aku selalu memberitahukanmu, bahwa kamu adalah bagian terpenting dalam hidupku sejak dua tahun lalu. Aku rasanya tidak masalah jika tidak memiliki apapun, asalkan aku bersamamu. Karena bersamamu adalah sebuah anugerah yang Tuhan berikan kepadaku. Kamu adalah satu-satunya orang yang bisa mengubah gelap menjadi terang, kamu selalu berada di sampingku, memberikan aku bahu paling nyaman untuk menyandarkan segala beban. Kamu tidak hanya menghapus air mataku, tapi kamu juga mengubahnya menjadi tawa.

Hidupku sungguh tidak membutuhkan apapun lagi, kecuali kebahagiaan, dan bagiku, kebahagiaan itu adalah kamu. Tidak ada yang lain.

Tapi keputusanmu untuk pergi kali ini sudah bulat. Aku tahu hal itu kamu lakukan karena kamu takut aku akan merasa lebih sakit lagi, walau bagiku itu tak mengapa. Bersamamu memang sungguh membuatku bahagia, tapi aku lebih menginginkan kamu untuk bahagia. Karena sudah terlalu banyak kebahagiaan yang kamu berikan untukku, dan ini adalah saatnya aku untuk membalasnya.

Ini bukan "selamat tinggal", ini adalah "sampai jumpa lagi". Karena seberapa jauh kamu pergi, aku akan selalu menunggu dan menjadi tempatmu untuk pulang.

Ada satu lagi yang selalu ingin aku katakan tapi gengsi...




Aku sayang kamu.

Wednesday, May 2, 2018

An Open Letter: Apa Kabar, Kenangan?

Hari ini kamu mencoba masuk lagi ke hidupku.



Menanyakan kabarku, dan secara tidak langsung memintaku membuka lagi pintu yang sudah kututup rapat-rapat untukmu.

Ya, kamu. Laki-laki yang entah kenapa tanpa berpikir panjang menganggapku mirip Jiyeon T-ARA.

Ya, kamu. Laki-laki kelahiran tahun 1989 yang melewatkanku tanpa pernah sejenak melihatku terlebih dahulu. Laki-laki yang mencari cinta pada hati lain, padahal kurasa dia tahu ada hati gersang yang sedang diam-diam mengharapkannya.

Seperti hari-hari sebelumnya, kamu buat aku mengulang kembali ingatan saat sebelum semuanya berakhir. Kurasa, kamu pikir aku lupa. Padahal jangankan cerita indah bersamamu, aroma parfum mu saja masih bisa kucium. Aku hanya perlu memejamkan mataku dan membawamu kedalam imajinasiku, rasanya sama saja. Karena saat aku bersamamu beberapa tahun lalu pun kamu tidak menganggap kehadiranku.

Ya, hatiku masih berdetak tak berirama setiap kali kamu mengatakan rindu. Aku juga rindu. Tapi aku tidak bisa mencintaimu lagi.






Dan aku tidak pernah berpikir untuk mencoba mencintaimu lagi.

Thursday, March 1, 2018

An Open Letter: Dear My One-Call-Away Man...



“Cinta itu indah, kalau kamu tidak setuju, mungkin kamu salah pasangan.” – Pidi Baiq


 
Semua orang pikir, bahagia itu punya pasangan yang super ideal, super ganteng, super banyak uang dan super romantis. Tapi, ternyata mereka salah. 

Bahagia itu punya pasangan yang bisa jadi sahabat, bisa jadi kakak, bisa jadi segalanya.

Nggak perlu makan di restoran bintang lima, atau jalan-jalan pakai mobil mewah, asal sama dia rasanya nggak perlu apa-apa lagi.



Dia selalu membuat saya bahagia. Rasanya nggak ada waktu buat sedih. Setiap bersamanya, kesedihan menguap begitu saja.

Dia bukan orang yang romantis. Tapi dia membuat kehadirannya lebih penting ketimbang seikat bunga mawar.

Dia memang bukan seseorang yang tanpa dosa. Bukan pula seseorang yang sempurna. Tapi dia mengajari saya untuk hidup seolah hari ini adalah hari terakhir yang saya punya.


Ketika dunia terasa berat, dia adalah orang yang pertama kali saya hubungi. Hanya mendengar suaranya menguatkan saya, rasanya cukup.

Ketika semua orang berjalan menjauh, tapi dia nggak. Dia justru semakin kuat menggenggam tangan saya.

Ketika semua orang tertawa mendengar mimpi saya, tapi dia nggak. Dia justru kasih dukungan, walau dia juga tau kalau mimpi itu sulit untuk digapai.

Ketika semua orang mencaci saat mengetahui kesalahan saya, tapi dia nggak. Dia justru bersikap seolah tidak ada yang salah.


Sejak bertemu dengannya, saya merasa 24 jam saja tidak cukup. Saya ingin lebih lama lagi berada di dekatnya.

Sejak bertemu dengannya, saya merasa tidak perlu apapun lagi. Saya hanya butuh dia.

Sejak bertemu dengannnya, dia selalu membuat saya selalu bersyukur tiada henti kepada Tuhan karena sudah mengirimkannya ke dalam hidup saya.

Monday, January 29, 2018

An Open Letter: Selamat Ulang Tahun, Kenangan!






Malam ini aku teringat hal-hal akan dirimu lagi. 

Akhirnya aku beranikan diri membuka kembali kenangan-kenangan yang dulu kita abadikan dalam foto. Dimana aku masih menjadi aku, dan kamu masih menjadi kamu. Enam tahun lalu. Sebelum luka demi luka kamu goreskan di hatiku.

Mengenal dan dekat denganmu sungguh di luar pikiranku. Apalagi sampai jatuh cinta denganmu, laki-laki yang berbeda tujuh tahun lebih tua dariku.

Demi pergi dengan harapan dapat melihatmu pertama kali, aku bahkan memberanikan diri bolos sekolah hari itu. Pilihan yang awalnya sangat aku pertimbangkan, namun kini sangat aku syukuri.

Aku tidak mau banyak bicara tentang cerita lalu karena sudah terlalu sering orang-orang mendengarnya. Rasanya seperti kau  masih berada di dekatku setiap kali aku menceritakannya ulang ke orang lain. Cerita tentang alasan aku yang dulu berubah menjadi aku yang sekarang.

Mungkin tidak jelas kau ketahui bahwa alasan terbesarku adalah dirimu.

Jatuh cinta memang pilihanmu.
Dan memendam cinta pun juga pilihanku.
Tidak pernah aku sesali.

Hanya saja setiap lagu cinta yang kudengar membuatku kembali teringat oleh dirimu, aku ingin memutar waktu, dan aku tahu itu tidak mugkin.

Setiap kali aku mengatakan bahwa aku merindukan masa lalu, kau selalu menjawabnya seakan kau tidak ingin menyalahkan sang waktu. Dan membuatku pada akhirnya berpikir bahwa memang cinta tidak harus selalu memiliki. Meski kadang, aku tidak setuju akan hal itu.

Ya, aku tahu, sejak dulu kau tidak pernah memintaku berubah, hanya saja penolakanmu membuatku berpikir demikian. Anggaplah aku yang sekarang hanya pubertas.

Tapi kau harus tahu, saat tulisan ini selesai pun, namamu masih ada di dalam hatiku.


Selamat ulang tahun!