Saturday, March 16, 2019

An Open Letter: Halo, Maaf, Aku rindu


Karena sudah tidak bisa mengutarakan rasa rindu secara langsung padamu, akhirnya kuputuskan mengutarakannya disini. Semoga kau lekas membacanya...

24 Desember tengah malam itu menjadi saksi percakapan kita berdua. Aku tidak paham betul apa isi dari percakapan dua jam lebih itu. Yang kutangkap hanya dua orang yang saling rindu, namun mengungkapkannya dengan berbeda. Seperti biasa, seperti sejak dua tahun lalu...

Entah apa yang membuatmu memutuskan untuk menghilangkan semua kontak denganku. Sampai saat ini aku masih belum mendapatkan jawabannya.

Seminggu tanpa kehadiranmu, aku pikir aku bisa melewatinya seribu tahun lagi. Tapi aku salah. Aku terus merindukan sosok yang sangat menyebalkan itu. 
Ya, kamu.

Saat sedang sendiri di sebuah ruangan, aku merasa sepi, aku selalu membayangkan kalau saja ada dirimu. Aku merasa sangat cukup. Atau saat merasa sedih dan sudah tidak sanggup lagi menopang beban di pundakku, aku selalu mengharapkan hadirmu. Karena yang kau bisa hanyalah membuatku bahagia. Cukup.

Aku berjalan sendirian, di kedinginan, dalam keramaian. Aku selalu berharap tanganmu menggenggam tanganku. Itu akan mampu membuatku berjalan walau harus keuujung dunia. Tapi kenyataannya kau hanya terus berjalan tanpa menoleh sedikitpun kearahku.

Kurasa kamu masih ingat setiap kali aku memberitahumu bahwa aku tidak tahu bagaimana hidupku tanpa kehadiranmu. Aku juga masih ingat betul janjimu untuk tidak akan pernah pergi.
 
Kini aku sudah tidak punya apa-apa lagi tentangmu. Yang aku punya hanyalah kenangan dengan dirimu yang selalu ada dibenakku. Dirimu yang dulu, yang memiliki bahu yang nyaman untukku menangis, yang memiliki jari yang kuat menggenggam jariku saat dunia terasa berat, yang memiliki segala cara untuk membuatku merasa ingin hidup selamanya. Mengingat kembali semuanya, membuatku merasa begitu nyaman dan bersyukur.

Bunga mawar yang kau berikan untukku sudah mulai kering. Tapi aku tidak berniat membuangnya. itu adalah bunga pertama dan terakhir yang kau berikan padaku.

Melihat kembali foto-foto kebersamaan kita, aku bertanya-tanya, apa kau bahagia walau tanpa ada kehadiranku? Apakah hidupmu terasa baik-baik saja? Karena aku sama sekali tidak merasakan hal yang sama. Entah kenapa.

Rasanya seperti aku memiliki segalanya. Tapi tanpa ada dirimu, rasanya kenapa begitu hampa? Aku hanya membutuhkan kehadiranmu di hidupku. Itu saja sudah cukup.


Jika menurutmu aku memiliki kesalahan dan aku harus meminta maaf, aku harus meminta maaf untuk apa?