Monday, September 30, 2019

I Met Jung Hae In in Manila



Setelah mimpi yang tidak ada ujungnya, akhirnya ini terjadi.

Keputusan yang sangat nekat untuk pergi ke Manila setelah fanmeeting di Malaysia dicancel karena satu dan lain hal.

Pertama kali pergi kesana, gak tau kayak apa negaranya.
Dengan bawa nekat dan percaya semua akan baik-baik saja (setelah membaca hal-hal menyeramkan tentang Filipina).
Dengan modal tiket fanmeeting di tribune lantai 2, sampai lah aku satu hari sebelum oppa sampai. Ketika melihat keadaan bandara yang sangat jauh berbeda dari di Jakarta, akhirnya aku pasrah bertemu oppa di bandara.

Esok harinya masih nekat pergi ke NAIA untuk jemput oppa. Namun apalah daya hanya bisa melihat dari jauh.
Percobaan selanjutnya ke hotel.
Tapi masih gagal karena oppa gak keluar hotel sama sekali. Akhirnya pasrah bertemu di fanmeeting. Toh, bisa hi touch di akhir acara. Jadi berakhir jalan-jalan di Manila.

Tapi Allah sebaik itu.

Aku bener-bener gak ada perasaan apa-apa pas berangkat dari hotel ke venue. Malah gak peduli antrian dan meetup dulu sama kawanku di mall dekat venue. Lagi asik-asik ngobrol, whatsapku dapat telepon dari nomer Filipina dan aku minta kawanku yang orang sana untuk jawab karena aku gak kenal nomernya.
Tapi ternyata orang itu bilang aku menang kuis dan dia tunggu aku di lobby. Aku sempat diam mikir kuis apa.

Jadi 2 minggu sebelum fanmeeting, promotor membuat kuis untuk mengirimkan curhatan kita lewat email. Mereka memang menuliskan bahwa cerita paling menarik akan dikasih solusi sama oppa. Aku iseng lah kirim soal aku yang putus karena sibuk fangirling.

Ternyata menang.

Lanjut bertemu pihak promotor di lobby setelah aku bilang bahwa tiketku tribune jadi aku gak bisa ketemu dia di dekat stage. Dia jemput aku dan taruh aku duduk pas depan panggung.
DEKAT BGT SUMPAH.
Aku udah gemetar bakalan ngeliat oppa sedekat itu.

Fanmeeting di mulai.

Segment pertama dipilih 10 lucky fans untuk dapat signed poster tapi dikasih sama oppa dari atas stage. Lalu aku berpikir, "Oh nanti akan kayak gitu" tapi... setelah segment selanjutnya dimulai, dibacakan lah pemenang pertama, dan MC minta pemenang pertama yang duduk disampingku itu untuk naik ke stage dan di peluk dan SELFIE.

AKU LANGSUNG PUCAT.

ASLI!

GAK BOHONG!

Lalu tibalah giliranku.






Aku gemetar bukan main. Sampai gak berani mendekat.
Rasanya kayak mimpi.
Orang yang aku puji-puji dari layar laptop dan handphone saat itu ada di hadapanku.
Semua fans teriak menyemangatiku yang sudah ambyar dengan tangisan. Lalu oppa dengan senyum lebar merentangkan kedua tangannya menyambutku dengan pelukan.

Aku terus mengulang "oppa gomawoyo" dalam peluknya.


Dan semua ada di video ini.



Aku cuma mau bilang, GAK ADA YANG GAK MUNGKIN.

Semua pasti berbuah baik asal ada usaha.

Tetap yakin dan percaya hal seperti ini akan terjadi pada diri kamu.


Love,
Haya Rakki

Saturday, March 16, 2019

An Open Letter: Halo, Maaf, Aku rindu


Karena sudah tidak bisa mengutarakan rasa rindu secara langsung padamu, akhirnya kuputuskan mengutarakannya disini. Semoga kau lekas membacanya...

24 Desember tengah malam itu menjadi saksi percakapan kita berdua. Aku tidak paham betul apa isi dari percakapan dua jam lebih itu. Yang kutangkap hanya dua orang yang saling rindu, namun mengungkapkannya dengan berbeda. Seperti biasa, seperti sejak dua tahun lalu...

Entah apa yang membuatmu memutuskan untuk menghilangkan semua kontak denganku. Sampai saat ini aku masih belum mendapatkan jawabannya.

Seminggu tanpa kehadiranmu, aku pikir aku bisa melewatinya seribu tahun lagi. Tapi aku salah. Aku terus merindukan sosok yang sangat menyebalkan itu. 
Ya, kamu.

Saat sedang sendiri di sebuah ruangan, aku merasa sepi, aku selalu membayangkan kalau saja ada dirimu. Aku merasa sangat cukup. Atau saat merasa sedih dan sudah tidak sanggup lagi menopang beban di pundakku, aku selalu mengharapkan hadirmu. Karena yang kau bisa hanyalah membuatku bahagia. Cukup.

Aku berjalan sendirian, di kedinginan, dalam keramaian. Aku selalu berharap tanganmu menggenggam tanganku. Itu akan mampu membuatku berjalan walau harus keuujung dunia. Tapi kenyataannya kau hanya terus berjalan tanpa menoleh sedikitpun kearahku.

Kurasa kamu masih ingat setiap kali aku memberitahumu bahwa aku tidak tahu bagaimana hidupku tanpa kehadiranmu. Aku juga masih ingat betul janjimu untuk tidak akan pernah pergi.
 
Kini aku sudah tidak punya apa-apa lagi tentangmu. Yang aku punya hanyalah kenangan dengan dirimu yang selalu ada dibenakku. Dirimu yang dulu, yang memiliki bahu yang nyaman untukku menangis, yang memiliki jari yang kuat menggenggam jariku saat dunia terasa berat, yang memiliki segala cara untuk membuatku merasa ingin hidup selamanya. Mengingat kembali semuanya, membuatku merasa begitu nyaman dan bersyukur.

Bunga mawar yang kau berikan untukku sudah mulai kering. Tapi aku tidak berniat membuangnya. itu adalah bunga pertama dan terakhir yang kau berikan padaku.

Melihat kembali foto-foto kebersamaan kita, aku bertanya-tanya, apa kau bahagia walau tanpa ada kehadiranku? Apakah hidupmu terasa baik-baik saja? Karena aku sama sekali tidak merasakan hal yang sama. Entah kenapa.

Rasanya seperti aku memiliki segalanya. Tapi tanpa ada dirimu, rasanya kenapa begitu hampa? Aku hanya membutuhkan kehadiranmu di hidupku. Itu saja sudah cukup.


Jika menurutmu aku memiliki kesalahan dan aku harus meminta maaf, aku harus meminta maaf untuk apa?


Tuesday, July 31, 2018

An Open Letter: Ini Bukan "Selamat Tinggal"

Setelah berdebat dengan diri sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk menulis ini. Itu hak mu untuk baca atau tidak. Aku hanya tidak sanggup menahannya lebih lama lagi.

Sebelumnya terimakasih sudah masuk ke dalam hidupku yang sepi, gelap, abu-abu dan berliku ini. Kamu sudah membuat hidupku lebih berwarna, dan sejak ada dirimu, aku tidak takut lagi berada di dalamnya.

Terimakasih sudah menerima diriku apa adanya, dan tetap di sampingku walau kamu tahu bagian paling buruk dalam diriku. Kamu tetap menggenggam tanganku dan mengatakan bahwa itu bukan hal yang besar dan kamu tidak pergi saat mengetahuinya.

Kamu pasti tahu, karena aku selalu memberitahukanmu, bahwa kamu adalah bagian terpenting dalam hidupku sejak dua tahun lalu. Aku rasanya tidak masalah jika tidak memiliki apapun, asalkan aku bersamamu. Karena bersamamu adalah sebuah anugerah yang Tuhan berikan kepadaku. Kamu adalah satu-satunya orang yang bisa mengubah gelap menjadi terang, kamu selalu berada di sampingku, memberikan aku bahu paling nyaman untuk menyandarkan segala beban. Kamu tidak hanya menghapus air mataku, tapi kamu juga mengubahnya menjadi tawa.

Hidupku sungguh tidak membutuhkan apapun lagi, kecuali kebahagiaan, dan bagiku, kebahagiaan itu adalah kamu. Tidak ada yang lain.

Tapi keputusanmu untuk pergi kali ini sudah bulat. Aku tahu hal itu kamu lakukan karena kamu takut aku akan merasa lebih sakit lagi, walau bagiku itu tak mengapa. Bersamamu memang sungguh membuatku bahagia, tapi aku lebih menginginkan kamu untuk bahagia. Karena sudah terlalu banyak kebahagiaan yang kamu berikan untukku, dan ini adalah saatnya aku untuk membalasnya.

Ini bukan "selamat tinggal", ini adalah "sampai jumpa lagi". Karena seberapa jauh kamu pergi, aku akan selalu menunggu dan menjadi tempatmu untuk pulang.

Ada satu lagi yang selalu ingin aku katakan tapi gengsi...




Aku sayang kamu.