Thursday, March 1, 2018

An Open Letter: Dear My One-Call-Away Man...



“Cinta itu indah, kalau kamu tidak setuju, mungkin kamu salah pasangan.” – Pidi Baiq


 
Semua orang pikir, bahagia itu punya pasangan yang super ideal, super ganteng, super banyak uang dan super romantis. Tapi, ternyata mereka salah. 

Bahagia itu punya pasangan yang bisa jadi sahabat, bisa jadi kakak, bisa jadi segalanya.

Nggak perlu makan di restoran bintang lima, atau jalan-jalan pakai mobil mewah, asal sama dia rasanya nggak perlu apa-apa lagi.



Dia selalu membuat saya bahagia. Rasanya nggak ada waktu buat sedih. Setiap bersamanya, kesedihan menguap begitu saja.

Dia bukan orang yang romantis. Tapi dia membuat kehadirannya lebih penting ketimbang seikat bunga mawar.

Dia memang bukan seseorang yang tanpa dosa. Bukan pula seseorang yang sempurna. Tapi dia mengajari saya untuk hidup seolah hari ini adalah hari terakhir yang saya punya.


Ketika dunia terasa berat, dia adalah orang yang pertama kali saya hubungi. Hanya mendengar suaranya menguatkan saya, rasanya cukup.

Ketika semua orang berjalan menjauh, tapi dia nggak. Dia justru semakin kuat menggenggam tangan saya.

Ketika semua orang tertawa mendengar mimpi saya, tapi dia nggak. Dia justru kasih dukungan, walau dia juga tau kalau mimpi itu sulit untuk digapai.

Ketika semua orang mencaci saat mengetahui kesalahan saya, tapi dia nggak. Dia justru bersikap seolah tidak ada yang salah.


Sejak bertemu dengannya, saya merasa 24 jam saja tidak cukup. Saya ingin lebih lama lagi berada di dekatnya.

Sejak bertemu dengannya, saya merasa tidak perlu apapun lagi. Saya hanya butuh dia.

Sejak bertemu dengannnya, dia selalu membuat saya selalu bersyukur tiada henti kepada Tuhan karena sudah mengirimkannya ke dalam hidup saya.